Memberi Cahaya Mudah Saat Ada Musibah Bencana

Memberi Cahaya Mudah Saat Ada Musibah Bencana


Segala puji bagi Allah Zat yang udah menciptakan kematian dan kehidupan di dalam rangka menguji manusia siapakah di terhadap mereka yang paling baik amalnya. Zat yang udah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga selamanya terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan rekan akrab termasuk seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk meraih cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan kerap kadang membawamu terperosok dan jatuh di
dalam beragam kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu menjadi berat bagimu. Dadamu seolah-olah jadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah jadi sempit
bagimu. Apakah kondisi ini bisa membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Dan ketahuilah, memang kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah ada problem itu bisa berkunjung kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di di dalam Musnad-nya dengan nomer 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam udah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah sinar yang panas. Dia beri tambahan info di sekelilingnya bisa tapi memang menjadi panas menyengat di di dalam dad Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala menyebabkan sebuah bab di di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar di dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan di dalam penjelasannya berkenaan bab yang benar-benar bermanfaat ini:“Sabar tergolong perkara yang tempati kedudukan agung (di di dalam agama). Ia termasuk tidak benar satu anggota ibadah yang benar-benar mulia. Ia tempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak bisa terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini gara-gara ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau berwujud larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa termasuk berwujud ujian di dalam wujud musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba sehingga dia bahagia bersabar tepat menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk jalankan perintah syariat dan termasuk hindari larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa lewat sarana ajaran agama dan lewat sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan ajaran agama sebagaimana tercermin di dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim berasal berasal berasal berasal dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu di dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah jadi ujian. Sedangkan ada ujian paham harus sikap sabar di dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan wujud perintah dan larangan.

Untuk jalankan beragam kewajiban pasti saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan beragam larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula tepat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) pasti termasuk dibutuhkan bekal kesabaran. Oleh gara-gara itulah lebih berasal berasal dari satu ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar di dalam berbuat taat, sabar di dalam menghindar diri berasal berasal berasal berasal dari maksiat dan sabar tatkala terima takdir Allah yang menjadi menyakitkan.”

Karena benar-benar sedikitnya dijumpai orang yang bisa bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun menyebabkan sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau jalankan di dalam rangka mengatakan bahwasanya sabar termasuk anggota berasal berasal berasal berasal dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus dikerjakan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung keputusan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak bahagia sabar itulah yang banyak keluar di dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berwujud ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau menyebabkan bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah berkenaan yang harus dikerjakan tatkala tertimpa takdir yang menjadi menyakitkan. Dengan berkenaan itu beliau termasuk inginkan beri tambahan penegasan bahwa bersabar di dalam rangka mobilisasi ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya termasuk wajib.

Secara bahasa sabar bermakna tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh di dalam kondisi “shabr”) yaitu tatkala dia berada di dalam tahanan atau tengah diikat sesudah itu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikian inti arti kesabaran yang dipakai di dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar gara-gara di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menghindar hati untuk tidak menjadi marah dan menghindar anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan di dalam wujud menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut arti syariat, sabar artinya: “Menahan lisan berasal berasal berasal berasal dari mengeluh, menghindar hati berasal berasal berasal berasal dari marah dan menghindar anggota badan berasal berasal berasal berasal dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek suatu berkenaan dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di di dalam Al Quran kata sabar disebutkan di dalam 90 daerah lebih. Sabar adalah anggota iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak membawa kesabaran di dalam mobilisasi ketaatan, tidak membawa kesabaran untuk hindari maksiat dan termasuk tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali anggota keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu membawa cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran termasuk bercabang-cabang. Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau inginkan beri tambahan penegasan bahwa sabar termasuk tidak benar satu cabang keimanan. Beliau termasuk beri tambahan penegasan lewat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang membuktikan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu termasuk termasuk tidak benar satu cabang kekufuran. Sehingga masing-masing cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang menjadi menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391). Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa jika dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah bisa beri tambahan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha paham segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengumumkan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu di terhadap umat manusia, baik yang berkenaan dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya cuma bisa terjadi dengan gara-gara takdir berasal berasal berasal berasal dari Allah. Sedangkan keputusan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa dielakkan. Allah termasuk menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan keputusan dan takdir Allah niscaya Allah bisa beri tambahan taufik kepadanya sehingga bisa untuk menjadi ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya gara-gara yakin terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha paham segala berkenaan yang bisa menyebabkan hamba-hambaNya jadi baik. Dia termasuk maha lembut kembali maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).Alqamah, tidak benar seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berkata berkenaan seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia paham bahwa musibah itu berasal berasal berasal berasal berasal dari segi Allah maka dia pun menjadi ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan di dalam penjelasannya berkenaan perkataan Alqamah ini:“Ini merupakan tafsir berasal berasal berasal berasal dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan
firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah bisa beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya,’ disebutkan di dalam konteks ditimpakannya musibah
sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ bermakna ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan jalankan perintah-Nya dan termasuk hindari larangan-Nya.

‘Niscaya Allah bisa beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya,’ yaitu sehingga bersabar. ‘Allah bisa beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya’ sehingga tidak menjadi marah dan tidak terima. ‘Allah bisa beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya,’ yaitu untuk menunaikan beragam macam ibadah. Oleh gara-gara itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berkata berkenaan seorang lelaki yang tertimpa musibah dan gara-gara dia paham bahwa musibah itu berasal berasal berasal berasal berasal dari segi Allah maka dia pun menjadi ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).

Dari ayat di atas kami bisa memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah: Keburukan itu termasuk termasuk perkara yang udah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang jadi gara-gara hati bisa meraih hidayah dan merasakan ketenteraman diri. Penjelasan berkenaan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala. (Al Jadiid, hal. 314). Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:“Hukum menjadi ridha dengan ada musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh maka berasal berasal dari itu banyak orang yang ada problem membedakan terhadap ridho dengan sabar.

Sedangkan kesimpulan yang tepat untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah tidak benar satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu gara-gara di di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap keputusan dan takdir Allah. Adapun ridho membawa dua sudut pandang yang berlainan:Sudut pandang pertama, terarah kepada tingkah laku Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba menjadi ridho terhadap tingkah laku Allah yang mengambil keputusan terjadinya segala sesuatu. Dia menjadi ridho dan bahagia dengan tingkah laku Allah. Dia menjadi bahagia dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia menjadi ridho terhadap anggota anggota yang didapatkannya berasal berasal berasal berasal dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho terhadap tingkah laku Allah ini termasuk tidak benar satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).

Sudut pandang kedua, terarah kepada berkenaan yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum menjadi ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk menjadi ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk menjadi ridho dengan gara-gara kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk menjadi ridho dengan gara-gara kehilangan hartanya. Namun berkenaan ini hukumnya mustahab (disunahkan).Oleh gara-gara itu di dalam konteks selanjutnya (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini berkata berkenaan seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia paham bahwa musibah itu berasal berasal berasal berasal berasal dari segi Allah maka dia pun menjadi ridha’ yaitu menjadi bahagia terhadap keputusan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ gara-gara ia paham musibah itu datangnya berasal berasal berasal berasal dari segi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah tidak benar satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).

Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah inginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan bila Allah meminta keburukan terhadap hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu
hingga dibayarkan di tepat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomer 2396 di di dalam Az Zuhud. Bab berkenaan kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia termasuk diriwayatkan oleh Al Haakim di dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum di dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomer 1220).“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia jadi gara-gara dihapuskannya dosa-dosa. Ia termasuk menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala dan termasuk memalingkan ketergantungan hatinya berasal berasal berasal berasal dari

sesama makhluk, dan beragam maslahat agung lainnya yang keluar karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai gara-gara penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah terhadap hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi total makhluk, jika bila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah jadi terjerumus di dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum akan akan tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia jadi keburukan baginya, bila ditilik berasal berasal berasal berasal dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.Sesungguhnya ada di terhadap orang-orang yang bila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes di dalam dirinya, atau khususnya penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan lebih berasal berasal dari satu kewajiban yang dibebankan padanya dan jadi berkubang dengan beragam berkenaan yang diharamkan sehingga berakibat jadi membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kebugaran lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik berasal berasal berasal berasal dari segi

pengaruh yang timbul sesudah dia mengalami musibah, bukan berasal berasal berasal berasal dari segi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk jalankan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini memang adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi cocok dengan keputusan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji gara-gara perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah sesudah itu diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus maka berasal berasal dari itu maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang berasal berasal berasal berasal dari Allah). Dan bila dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia termasuk bisa mendapatkan pujian-Nya.“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) berasal berasal berasal berasal dari Rabb mereka dan mendapatkan curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan berasal berasal berasal berasal dari Allah atas dosa-dosanya termasuk bisa didapatkan, begitu pula derajatnya pun bisa terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya harus ini niscaya dia bisa mendapatkan balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).Dari hadits di atas kami bisa memetik lebih berasal berasal dari satu pelajaran berharga, yaitu:Penetapan bahwa Allah membawa pembawaan Iradah (berkehendak), pasti saja yang cocok dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.Kebaikan dan keburukan sama-sama udah ditakdirkan berasal berasal berasal berasal dari Allah ta’ala.Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama berkenaan itu tidak menyebabkan dirinya meninggalkan kewajiban atau jalankan yang diharamkan.

Hendaknya kami menjadi risau dan waspada terhadap nikmat dan kebugaran yang sepanjang ini selamanya kami rasakan.Wajib berprasangka baik kepada Allah atas keputusan takdir tidak mengenakkan yang udah diputuskan-Nya terjadi terhadap diri kita.Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah harus bermakna Allah meridhoi orang tersebut. (Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional). Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar

Allah ta’ala berfirman, “Sungguh Kami bisa menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan dan termasuk kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang bila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah, dan kami termasuk bisa kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang bisa mendapatkan ucapan sholawat (pujian) berasal berasal berasal berasal dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini membuktikan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak terima lawan darinya, berwujud celaan berasal berasal berasal berasal dari Allah, siksaan, kesesatan dan termasuk kerugian. Betapa jauhnya perbedaan terhadap ke dua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala termasuk berfirman, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku umum untuk seluruh tipe kesabaran. Sabar di dalam menghadapi takdir Allah yang menjadi menyakitkan, yaitu hamba tidak menjadi marah karenanya. Sabar berasal berasal berasal berasal dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar di dalam jalankan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun menjadi lapang di dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, bermakna tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan berkenaan itu tidaklah bisa diraih jika disebabkan gara-gara begitu besarnya keutamaan pembawaan sabar dan agungnya kedudukan sabar di segi Allah, dan membuktikan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).Semoga Allah memasukkan kami di kalangan hamba-hambaNya yang sabar. Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Post a Comment

Popular